Aku
masih duduk termangu di ambang batas kesabaranku. Sudah empat gelas kopi
capucino tersesap di rahangku. Ku intip jam di pergelangan tanganku. Pukul 22.15.
Agaknya aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tubuhku melemas, kepalaku
pusing menahan kantuk yang tak terkira kan. Betapa tidak? Aku belum tidur sejak
aku menginjakkan kaki di kota tempat ku dibesarkan ini. Perjalanan
Solo-Tangerang dengan menggunakan kereta cukup menguras tenaga ku. Ditambah
lagi sejak pagi tadi ada saja tetangga yang bersilaturahmi ke rumah orang tuaku
untuk sekedar bercengkrama dan mendengarkan ceritaku mengenai daerah
seberang—Solo.
Meskipun
semakin malam café semakin ramai, tapi tetap saja sendirian diantara keramaian
selama 3 jam lebih itu rasanya something
sekali.
Ditambah lagi menunggu seseorang yang sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Handphonenya pun mati, bagaimana bisa aku tahu bahwa dia akan datang? Keyakinan. Ya, keyakinan lah yang membuat tubuhku tetap disini meski otakku sudah memberontak tak terkira untuk segera enyah dari café ini. Keyakinanlah yang sedikit banyak bisa membuatku menekan amarah-amarah dan egoku selama ini. Keyakinan ini pula lah yang mampu membuat hubunganku dengannya bisa sejauh ini. Tiga tahun, ya tiga tahun sudah. Tiga tahun sudah sejak hari itu, aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang acap kali memaksaku untuk memiliki kesabaran diluar batas sisi kemanusiaanku. Terkadang aku merasa muak dengan semua tingkah konyolnya yang sangat menyebalkan ini. Terkadang aku sangat kesal dengan tingkahnya yang ‘semaunya sendiri’. Terkadang aku begitu yakin bahwa aku benar-benar tidak akan bisa lebih lama lagi bersamanya. Tapi pada akhirnya pun aku masih tetap bersamanya hingga malam ini.
Ditambah lagi menunggu seseorang yang sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Handphonenya pun mati, bagaimana bisa aku tahu bahwa dia akan datang? Keyakinan. Ya, keyakinan lah yang membuat tubuhku tetap disini meski otakku sudah memberontak tak terkira untuk segera enyah dari café ini. Keyakinanlah yang sedikit banyak bisa membuatku menekan amarah-amarah dan egoku selama ini. Keyakinan ini pula lah yang mampu membuat hubunganku dengannya bisa sejauh ini. Tiga tahun, ya tiga tahun sudah. Tiga tahun sudah sejak hari itu, aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang acap kali memaksaku untuk memiliki kesabaran diluar batas sisi kemanusiaanku. Terkadang aku merasa muak dengan semua tingkah konyolnya yang sangat menyebalkan ini. Terkadang aku sangat kesal dengan tingkahnya yang ‘semaunya sendiri’. Terkadang aku begitu yakin bahwa aku benar-benar tidak akan bisa lebih lama lagi bersamanya. Tapi pada akhirnya pun aku masih tetap bersamanya hingga malam ini.
Deru
motor di parkiran café yang sering terdengar dari luar jendela menyita
perhatianku. Berkali-kali aku berharap orang yang ada dibalik kemudi motor itu
adalah dia. Tapi berkali-kali pula aku mendapati hasil yang hampa. Tiga jam?
Apa saja ya yang bisa aku lakukan dengan waktu sebanyak itu? Istirahat mungkin?
Tidur mungkin? Ataukah memadu rindu dengan kedua orangtua dan adik semata
wayangku yang sudah cukup lama aku tidak melihat wajah-wajahnya?
Kata-kata
yang sedari tadi terencana dikepalaku hampir buyar. Semua kalimat yang sudah
kusiapkan untuk mengobrol dengannya agar suasana tidak kaku pun pudar. Dan
semua hal manis yang aku bayangkan dalam pertemuan ini pun padam. Ingin rasanya
aku menangis. Kenapa? Kenapa harus aku yang dipilihnya untuk ini? Kenapa aku
yang dimauinya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Jika saja bulan bisa merasa, pastilah
sudah tercerai-berai kawah-kawahnya karena rasa yang aku derita ini.
tenggorokkanku kering, juga perih. Sepertinya aku sudah tidak sabar lagi. Kali
ini aku harus menjadi manusia biasa yang bisa habis rasa sabarnya, manusia yang
bisa mengungkapkan rasa dan manusia yang punya rasa kemanusiaan. Tapi… aku… aku
harus sabar, setengah jam lagi. Setengah jam saja… Ahh, tidak. Aku tidak bisa.
Kali ini aku ingin menjadi lepas. Tiga tahun lamanya aku selalu dibeginikan olehnya.
Dianggap enteng, dan dianggap tidak penting. Setiap sms yang kukirim kepadanya di
sore hari, selalu dibalasnya pula di hari selanjutnya. Setiap berjanji bertemu,
setiap kali itu pula selalu gagal karena bermacam alasan. Apa ini? sudah jelas
bukan kalau dia tidak serius denganku? Sudah jelas bukan kalau aku ini tidak
berharga dan tidak penting baginya? Tapi, untuk apa dia tetap mempertahankan
ini selama tiga tahun? Untuk apa???
Kini
bukan hanya tenggorokkanku yang sakit. Tapi juga kepalaku terasa begitu pusing.
Tak berlebihan rasanya jika banyak orang yang bilang saat sakit hati itu dada
rasanya begitu sakit teriris-iris. Ya, seperti itulah yang kurasakan. Kini aku
sudah yakin bahwa itu bukanlah teori sugestifnya orang-orang super melankolis
yang lebih mudah menggalau. Itu teori umum yang sudah banyak orang
merasakannya. Teori alam yang pasti akan menimpa orang-orang yang tidak peka
sekalipun. Baiklah, kali ini aku akan pergi dan aku akan mengambil sikap atas
perlakuannya selama ini. Tidak akan
pernah bisa lo berdampingan sama orang yang enggak lo anggap penting! Makiku
dalam hati kepada sosok Aldi yang sungguh menyebalkan itu.
Aku
mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja café. Handphone, novel, buku
catatan mini, semua telah rapih terhangatkan didalam tasku. Aku beranjak
berdiri dan siap melangkah pergi meninggalkan masa depanku yang akan menjadi
masa lalu, hingga tiba-tiba ku rasakan tubuhku menabrak sebuah badan tegap
tinggi saat ku berbalik untuk pergi. Cowok manis itu mengenakan baju biru dongker
yang dibalut dengan jaket denimn yang warnanya senada dengan celananya.
Kacamata berbingkai hitamnya menyorot lembut mataku. Tapi kekesalanku sama
sekali tidak terluluhkan oleh tatapan lembut maupun kedatangannya. Semua itu
sudah terlambat, gemingku.
“Mau kemana?” katanya membuka
percakapan. Aku sedikit mengernyitkan alisku, tetap dengan tatapan nanar yang
seolah tak percaya dengan apa yang dia katakan barusan. “Mau kemana?” Itukah kalimat pertama yang keluar setelah selama tiga
jam aku menunggunya??? Apa dia tidak…
“Oke sorry, gue lupa. Gue tadi
keasyikan nonton bola sama anak-anak.” Sambungnya dengan masih menatapku. Kali
ini tersirat sedikit penyesalan dalam matanya.
“Lo butuh orang yang lo anggap
penting buat jadi pendamping lo Di. Lo nggak akan bisa hidup sama orang yang
sama sekali enggak lo anggap penting kayak gue.” Dia hanya terdiam. Ingin
rasanya aku memakinya dengan kencang, tapi sayang aku tidak ingin orang-orang
di café menilaiku sebagai orang gila yang mengamuk pada pacarnya. Sedikitpun
aku tidak ingin orang-orang disini melihatku dan Aldi sedang bertengkar.
Meskipun aku tidak bisa bermimik biasa saja, tapi paling tidak aku tidak
menangis disini. Padahal sangat ingin sekali aku melakukannya. Hanya tatapan
hampa tanpa cinta yang bisa aku hidangkan malam ini.
“Lo penting Ri, penting. Tadi gue
cuman lupa.” Dalihnya. Aku terkekeh kesal dengan alasannya itu. Apa selama ini,
selama tiga tahun ini dia menganggapku penting? Oke, coba jelaskan dari mana
aku bisa disebut penting saat sms-sms ku tidak langsung dibalas olehnya? Apa
setiap kali itu juga dia sibuk? Lalu, obrolan-obrolan penting yang pernah aku
tanyakan apa selalu ditanggapinya dengan cepat? Apa itu yang namanya penting?
“Sorry, gua nggak bisa lebih lama
lagi. Gua juga manusia yang sesekali ingin diistimewakan. Lo sebaiknya cari
orang yang lebih sabar lagi, dan juga lo anggap penting.” Kataku sambil
melepaskan cincin di jari manis kiriku yang pernah dia berikan beberapa tahun
yang lalu. Aku meletakkan cincin itu di atas meja, kemudian aku segera
menerobos tubuh tinggi itu untuk mencapai pintu keluar. Dia menarik tanganku
dari belakang, aku melepaskannya dan tak ingin sedikitpun menengok ke arahnya.
Ini seperti drama saja. Dia mengejarku tapi aku sudah lebih dulu masuk ke dalam
taksi. Aku tersenyum kecut menanggapi adegan ini. benar-benar mirip seperti di
film-film atau di novel yang pernah kubaca.
Meski tenggorokkanku terasa pahit dan sakit, tapi aku tidak ingin
mendramatisir malam gelap ini dengan tangisan. Cukup hatiku saja yang meringis
kesal. Aku tidak ingin pak supir yang memimpin pacu taksi ini tahu akan
penderitaanku yang memalukan ini.
Aku
tiba di muka rumahku. Mengetuk pintu, dan tak lama kemudian cewek muda
berpiyama muncul dibalik pintu yang terbuka. Dia tersenyum ke arahku. Ku balas
dengan senyum terbaik yang bisa ku pamerkan hari ini. Tapi sial lah aku, tetap
saja adikku itu mengetahui bahwa mala mini aku mendapatkan masalah. Dia
mengusap punggungku. Biasanya dia melakukan itu saat aku benar-benar merasa
sangat sedih dan kemudian aku akan berbagi kesedihanku itu kepadanya. Aku
mengedarkan pandanganku kesekitar. Tak kujumpai ayah ataupun ibu di sudut ruang
tamu ini. aku segera merangkaki anak-anak tangga dengan segala kepayahanku
malam ini. Well, hatiku memang berusaha tetap tenang dan kuat tapi layaknya
siku kaki ku tidak dapat berbohong. Rasanya begitu lemas.
Aku
melempar lembut tas ku itu ke segala arah. Kemudian aku meringkuk menghadap
tembok, melampiaskan segala kepedihan sekaligus kelegaanku ini. Aku tidak harus
menahannya lagi. Aku terisak dibalik ringkukan, bermandikan cahaya dari lentera
mungil yang tergantung di atap kamarku. Detak jam semakin terdengar membumbung
kencang. Aku tahu, dia mentertawakanku mala mini. Mentertawakan kesialanku
selama ini. Hahaha, aku juga ingin tertawa pedih dalam isakan kerdilku.
Salam: D-103
0 comments:
Post a Comment