Powered by Blogger.
RSS

The Dark Night Capuccinoooo

                Aku masih duduk termangu di ambang batas kesabaranku. Sudah empat gelas kopi capucino tersesap di rahangku. Ku intip jam di pergelangan tanganku. Pukul 22.15. Agaknya aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tubuhku melemas, kepalaku pusing menahan kantuk yang tak terkira kan. Betapa tidak? Aku belum tidur sejak aku menginjakkan kaki di kota tempat ku dibesarkan ini. Perjalanan Solo-Tangerang dengan menggunakan kereta cukup menguras tenaga ku. Ditambah lagi sejak pagi tadi ada saja tetangga yang bersilaturahmi ke rumah orang tuaku untuk sekedar bercengkrama dan mendengarkan ceritaku mengenai daerah seberang—Solo.


                Meskipun semakin malam café semakin ramai, tapi tetap saja sendirian diantara keramaian selama 3 jam lebih itu rasanya something sekali.
Ditambah lagi menunggu seseorang yang sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Handphonenya pun mati, bagaimana bisa aku tahu bahwa dia akan datang? Keyakinan. Ya, keyakinan lah yang membuat tubuhku tetap disini meski otakku sudah memberontak tak terkira untuk segera enyah dari café ini. Keyakinanlah yang sedikit banyak bisa membuatku menekan amarah-amarah dan egoku selama ini. Keyakinan ini pula lah yang mampu membuat hubunganku dengannya bisa sejauh ini. Tiga tahun, ya tiga tahun sudah. Tiga tahun sudah sejak hari itu, aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang acap kali memaksaku untuk memiliki kesabaran diluar batas sisi kemanusiaanku. Terkadang aku merasa muak dengan semua tingkah konyolnya yang sangat menyebalkan ini. Terkadang aku sangat kesal dengan tingkahnya yang ‘semaunya sendiri’. Terkadang aku begitu yakin bahwa aku benar-benar tidak akan bisa lebih lama lagi bersamanya. Tapi pada akhirnya pun aku masih tetap bersamanya hingga malam ini.
                Deru motor di parkiran café yang sering terdengar dari luar jendela menyita perhatianku. Berkali-kali aku berharap orang yang ada dibalik kemudi motor itu adalah dia. Tapi berkali-kali pula aku mendapati hasil yang hampa. Tiga jam? Apa saja ya yang bisa aku lakukan dengan waktu sebanyak itu? Istirahat mungkin? Tidur mungkin? Ataukah memadu rindu dengan kedua orangtua dan adik semata wayangku yang sudah cukup lama aku tidak melihat wajah-wajahnya?

                Kata-kata yang sedari tadi terencana dikepalaku hampir buyar. Semua kalimat yang sudah kusiapkan untuk mengobrol dengannya agar suasana tidak kaku pun pudar. Dan semua hal manis yang aku bayangkan dalam pertemuan ini pun padam. Ingin rasanya aku menangis. Kenapa? Kenapa harus aku yang dipilihnya untuk ini? Kenapa aku yang dimauinya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Jika saja bulan bisa merasa, pastilah sudah tercerai-berai kawah-kawahnya karena rasa yang aku derita ini. tenggorokkanku kering, juga perih. Sepertinya aku sudah tidak sabar lagi. Kali ini aku harus menjadi manusia biasa yang bisa habis rasa sabarnya, manusia yang bisa mengungkapkan rasa dan manusia yang punya rasa kemanusiaan. Tapi… aku… aku harus sabar, setengah jam lagi. Setengah jam saja… Ahh, tidak. Aku tidak bisa. Kali ini aku ingin menjadi lepas. Tiga tahun lamanya aku selalu dibeginikan olehnya. Dianggap enteng, dan dianggap tidak penting. Setiap sms yang kukirim kepadanya di sore hari, selalu dibalasnya pula di hari selanjutnya. Setiap berjanji bertemu, setiap kali itu pula selalu gagal karena bermacam alasan. Apa ini? sudah jelas bukan kalau dia tidak serius denganku? Sudah jelas bukan kalau aku ini tidak berharga dan tidak penting baginya? Tapi, untuk apa dia tetap mempertahankan ini selama tiga tahun? Untuk apa???
                Kini bukan hanya tenggorokkanku yang sakit. Tapi juga kepalaku terasa begitu pusing. Tak berlebihan rasanya jika banyak orang yang bilang saat sakit hati itu dada rasanya begitu sakit teriris-iris. Ya, seperti itulah yang kurasakan. Kini aku sudah yakin bahwa itu bukanlah teori sugestifnya orang-orang super melankolis yang lebih mudah menggalau. Itu teori umum yang sudah banyak orang merasakannya. Teori alam yang pasti akan menimpa orang-orang yang tidak peka sekalipun. Baiklah, kali ini aku akan pergi dan aku akan mengambil sikap atas perlakuannya selama ini. Tidak akan pernah bisa lo berdampingan sama orang yang enggak lo anggap penting! Makiku dalam hati kepada sosok Aldi yang sungguh menyebalkan itu.
                Aku mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja café. Handphone, novel, buku catatan mini, semua telah rapih terhangatkan didalam tasku. Aku beranjak berdiri dan siap melangkah pergi meninggalkan masa depanku yang akan menjadi masa lalu, hingga tiba-tiba ku rasakan tubuhku menabrak sebuah badan tegap tinggi saat ku berbalik untuk pergi. Cowok manis itu mengenakan baju biru dongker yang dibalut dengan jaket denimn yang warnanya senada dengan celananya. Kacamata berbingkai hitamnya menyorot lembut mataku. Tapi kekesalanku sama sekali tidak terluluhkan oleh tatapan lembut maupun kedatangannya. Semua itu sudah terlambat, gemingku.
“Mau kemana?” katanya membuka percakapan. Aku sedikit mengernyitkan alisku, tetap dengan tatapan nanar yang seolah tak percaya dengan apa yang dia katakan barusan. “Mau kemana?” Itukah kalimat pertama yang keluar setelah selama tiga jam aku menunggunya??? Apa dia tidak…
“Oke sorry, gue lupa. Gue tadi keasyikan nonton bola sama anak-anak.” Sambungnya dengan masih menatapku. Kali ini tersirat sedikit penyesalan dalam matanya.
“Lo butuh orang yang lo anggap penting buat jadi pendamping lo Di. Lo nggak akan bisa hidup sama orang yang sama sekali enggak lo anggap penting kayak gue.” Dia hanya terdiam. Ingin rasanya aku memakinya dengan kencang, tapi sayang aku tidak ingin orang-orang di café menilaiku sebagai orang gila yang mengamuk pada pacarnya. Sedikitpun aku tidak ingin orang-orang disini melihatku dan Aldi sedang bertengkar. Meskipun aku tidak bisa bermimik biasa saja, tapi paling tidak aku tidak menangis disini. Padahal sangat ingin sekali aku melakukannya. Hanya tatapan hampa tanpa cinta yang bisa aku hidangkan malam ini.
“Lo penting Ri, penting. Tadi gue cuman lupa.” Dalihnya. Aku terkekeh kesal dengan alasannya itu. Apa selama ini, selama tiga tahun ini dia menganggapku penting? Oke, coba jelaskan dari mana aku bisa disebut penting saat sms-sms ku tidak langsung dibalas olehnya? Apa setiap kali itu juga dia sibuk? Lalu, obrolan-obrolan penting yang pernah aku tanyakan apa selalu ditanggapinya dengan cepat? Apa itu yang namanya penting?
“Sorry, gua nggak bisa lebih lama lagi. Gua juga manusia yang sesekali ingin diistimewakan. Lo sebaiknya cari orang yang lebih sabar lagi, dan juga lo anggap penting.” Kataku sambil melepaskan cincin di jari manis kiriku yang pernah dia berikan beberapa tahun yang lalu. Aku meletakkan cincin itu di atas meja, kemudian aku segera menerobos tubuh tinggi itu untuk mencapai pintu keluar. Dia menarik tanganku dari belakang, aku melepaskannya dan tak ingin sedikitpun menengok ke arahnya. Ini seperti drama saja. Dia mengejarku tapi aku sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi. Aku tersenyum kecut menanggapi adegan ini. benar-benar mirip seperti di film-film atau di novel yang pernah kubaca.  Meski tenggorokkanku terasa pahit dan sakit, tapi aku tidak ingin mendramatisir malam gelap ini dengan tangisan. Cukup hatiku saja yang meringis kesal. Aku tidak ingin pak supir yang memimpin pacu taksi ini tahu akan penderitaanku yang memalukan ini.
                Aku tiba di muka rumahku. Mengetuk pintu, dan tak lama kemudian cewek muda berpiyama muncul dibalik pintu yang terbuka. Dia tersenyum ke arahku. Ku balas dengan senyum terbaik yang bisa ku pamerkan hari ini. Tapi sial lah aku, tetap saja adikku itu mengetahui bahwa mala mini aku mendapatkan masalah. Dia mengusap punggungku. Biasanya dia melakukan itu saat aku benar-benar merasa sangat sedih dan kemudian aku akan berbagi kesedihanku itu kepadanya. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar. Tak kujumpai ayah ataupun ibu di sudut ruang tamu ini. aku segera merangkaki anak-anak tangga dengan segala kepayahanku malam ini. Well, hatiku memang berusaha tetap tenang dan kuat tapi layaknya siku kaki ku tidak dapat berbohong. Rasanya begitu lemas.
                Aku melempar lembut tas ku itu ke segala arah. Kemudian aku meringkuk menghadap tembok, melampiaskan segala kepedihan sekaligus kelegaanku ini. Aku tidak harus menahannya lagi. Aku terisak dibalik ringkukan, bermandikan cahaya dari lentera mungil yang tergantung di atap kamarku. Detak jam semakin terdengar membumbung kencang. Aku tahu, dia mentertawakanku mala mini. Mentertawakan kesialanku selama ini. Hahaha, aku juga ingin tertawa pedih dalam isakan kerdilku.


Tanggal Buat: Jum'at 28 Februari 2014
Salam: D-103

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment