Powered by Blogger.
RSS

Mengungkapkan Rasa

Jadi orang yang terlalu pendiem itu nggak baik. apalagi saking diemnya itu sampe jaim dan stay cool sampe-sampe orang lain itu bingung dan nggak tau sama sekali yang sedang kita pikirkan ato rasakan. Tapi jadi orang yang terlalu ekspresionis itu juga nggak baik, karena bakal menuntun kita menuju jalan kelabilan yang juga sering ngebuat orang lain bingung dengan emosi ato perilaku yang kita sampaikan secara sengaja atopun nggak sengaja.

Disini gue akan berbicara KEPADA dan SEBAGAI orang introvert yang dilengkapi dengan fitur jaim, stay cool dan sebagainya. Well guys, ternyata spesies macem kita ini sering ngebuat orang lain kikuk dan bingung sama kita. Karena apapun yang kita rasa kita atau tepatnya gue rasain itu cuman gue lampiasin dengan diem. Itu bagus sih tapi dalam catataaaaan, saat suasana emang udah bener-bener panas dan udah nggak nemu titik tengah dari permasalahan.
‘Dari pada nyerocos ngeluapin rasa panjang lebar plus pake tinggi tapi nggak di dengar, yaa mending diem. Karena percuma aja, toh dia ego nya lagi tinggi, nggak bakal mau dengerin apapun alasan gue.’
itu yang selalu ada dalam pikiran gue saat gue lagi menghadapi suatu situasi dengan kepala yang penuh dengan amarah dan kekesalan. Itu kausa prima atau alasan awal kali gue nyadar kalo gue jadi orang pendiem. Itu awalnya ya, dan gue selalu tanemin itu saat gue lagi dimarahin orang tua ato lagi ada masalah sama temen gue. dari yang awalnya cuman saat marah, lama kelamaan sipat yang begitu itu ketanam dalam alam bawah sadar gue dan tiba-tiba aja gue nyadar kalo gue ternyata nggak cuman ‘memendam rasa’ saat marah doang. Saat gue seneng, saat gue bener-bener bahagia dan ngerasa thankful  dan sayaaang banget sama seseorang, dominannya selalu gue pendem dan gue cuman memunculkan perilaku ‘sewajarnya’ ala gue.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen - Us

Dear My Trusted Friend

Suara seksi J’Mraz masih memeka di gendang telingaku. Namun begitu masih bisa ku dengar detak lemah jarum jam yang masih saja setia mematung pada dinding yang dingin. Tiba-tiba daftar putar beralih dan mengalunkan suara mantap dawai gitar. Tanpa berpikirpun otakku langsung dapat mengenali lagu ini. Lucky, yang menceritakan kisah LDR sepasang kekasih yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Entah mengapa tiba-tiba otakku mengasosiakannya dengan kita. Kita? Ya, sebuah kata dengan empat alphabet dan dua buah suku kata yang begitu menggirangkan hatiku. Tapi entah mengapa pula, sejenak kemudian kegiranganku itu terporak porandakan.
Kita? Sebuah kata yang lebih jelasnya disebut aku dan dirimu. Kita? Yang juga mengindikasikan terjadinya jalinan diantara kita. Dalam konteks tali kasih? Pantaskah kita disebut ‘kita’? sedangkan kita sama sekali tidak pernah bersama dalam artian tatap muka tanpa rasa canggung dan kaku semenjak hari itu. Hari dimana kudengar pernyataan mengejutkan sekaligus menggembirakan darimu. Hari dimana sejak saat itu secara otomatis mengikat kita sebagai sepasang manusia yang orang sering menyebutnya sepasang kekasih. Ada apa denganmu? Mengapa segala hal yang terjadi setelah hari itu sangat berbeda dengan hal-hal yang telah kita lewati sebelum hari itu, sebagai seorang teman—yang sangat baik.
Apa kau benar-benar tidak menikmati keadaan kita sekarang ini? apa kau tidak merasa nyaman bersamaku? Apa ada sesuatu yang kurang dariku? ‘Dariku? Ya… dariku!!!’ tiba-tiba saja suara misterius bergumam dari dalam dadaku. Ya, tentu saja banyak yang kurang dariku. Jika dibandingkan dengan gadis yang kau sukai sebelumnya, tentu saja aku jauh lebih rendah darinya.  Jauuuhhh sekali, jika diibaratkan sebagai jarak dalam materi, tentu saja itu akan sangat jauh hingga menggapainya pun aku tak akan sanggup. Tidak akan. Karena akupun begitu berbeda dengannya. Bisa dibilang sifat maupun segala yang kumiliki sangat bertolak belakang dengannya. Dia, orang yang menggebu-gebu dan ekspresionis sedangkan aku, aku hanyalah aku. Sekumpulan organ yang berperangai kaku, kasar dan ‘sok cool’.  Jika hanya orang seperti dialah yang dapat membahagiakanmu, tentu saja kau tahu apa yang akan terjadi. Ataukah ini yang sedang terjadi padamu?
Kau akan merasa tidak bahagia denganku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dikasih Judul Apa Ya...

Bagi gue, manusia sempurna itu nggak ada. Tapi di dunia ini selalu ada yang namanya ‘lebih baik’. Gue bilang kesempurnaan itu nggak ada karena nilai kesempurnaan bagi satu orang ke orang lain itu relative. Satu orang dengan yang lainnya tentu aja punya kepribadian yang unik alias beda.
Orang yang egois, biasanya dipandang oleh sebagian orang sebagai orang yang menyebalkan dan buruk. Tapi bagi sebagian orang lainnya—seperti gue—orang yang egois itu lebih baik dari pada orang yang penurut. Karena apa? Karena gue sendiri adalah orang yang penurut dan tipe pengikut. Biasanya orang dengan keegoisan tinggi itu adalah tipe pemimpin yang pengennya selalu diikuti dan selalu jadi pusat perhatian.
Tipe pengikut jika dihadapkan dengan tipe pengikut juga, kemungkinan besar akan bingung kemana mereka berdua akan pergi. Bahkan dalam menentukan tujuan selalu ada kata atau setidaknya pemikiran abstrak ‘terserah lo aja’ yang biasanya karena rasa nggak enak. Nggak enak sok ngatur, nggak enak ntar dikirain sok tau dan sok kuasa. Dan akhirnya, mereka berdua nggak bergerak ke mana-mana. Tapi jika kedua tipe itu disandingkan, tidak menutup kemungkinan juga akan ada salah satu yang akan mengambil alih kemudi dan akhirnya dia yang akan selangkah lebih maju menjadi pemimpin.
Jika tipe pemimpin yang biasanya punya tingkat keegoisan lebih ekstra dan dihadapkan dengan yang sejenisnya, pasti akan selalu berantem. Meskipun tidak menutup kemungkinan mereka ada salah satu yang akan mengalah. Tapi biasanya jika dua orang dengan tipe ini disandingkan, akan lebih banyak konflik yang terjadi. Gue ambil contoh kasus temen gue. Dia punya pacar dengan tipe cerewet,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS