Aku
masih termangu menanti balasan pesan dari Indit—sahabat karibku. Sudah lima
belas menit berlalu sejak pesan terahir ku kirimkan kepadanya. Tega sekali
sahabat-sabatku itu meninggalkan aku sendiri di malam yang seharusnya penuh
keriangan ini. Ah! Benar juga. Ini semua memang salahku. Andai saja aku lebih
memilih ikut mereka ke Bali dari pada mengikuti rencana liburan keluargaku yang
gagal dengan sukses karena ayah tiba-tiba harus mengurus pekerjaannya. Ya, ini
semua salahku. Aaa! Jika saja aku memilih ke Bali bersama Indit dan yang
lainnya, sekarang ini pasti aku sedang berada di bawah pancaran bintang yang
terbuka lepas di angkasa. Menikmati terpaan angin yang membawa serta ombak
berdendang memecah kesunyian. Menikmati malam pergantian tahun bersama empat
sahabatku yang lain. Tia, Rahma, Echa dan Indit. Mereka pasti sedang
bersenang-senang mala mini. Ditemani musik, orang-orang, cahaya khas pesta di
pinggir pantai dan juga keringat yang memburu penuh semangat.
Andai
saja ayah tidak ada pekerjaan dadakan, pasti malam ini aku sedang membakar ayam
di atas panggangan barbeque ditemani bunda, kak Raihan dan tentunya ayah. Kak
Raihan sedang memainkan gitarnya, ibu bernyanyi dan ayah pasti sedang
membantuku menyiapkan makanan. Ah! Kami pasti sedang menikmati semilir angin
malam di Kota Malang.
Dan
sekarang, kenyataannya adalah aku seorang diri berada di ruangan ini. Bahkan
angin pun tak sudi menghampiriku kendati jendela kamarku telah ku buka
lebar-lebar. Baiklah Raisya, mari bunuh rasa bosan ini!
Aku
beranjak ke meja belajarku. Ku buka benda persegi panjang berwarna merah yang tergeletak
tak bernyawa di depanku. Ku tekan tombol power dan beberapa detik kemudian
kudapati layarku telah menampakkan tampilan desktopnya. Sebuah benda yang
belakangan diketahui bernama modem pun segera ku sambar dan kemudian ku
colokkan di port USB. Ku tekan touchpad begitu pointer telah berada tepat di
atas tombol connect. Aku buka browserku. Di tab pertama aku ketikkan situs
jejaring social andalanku, facebook. Dengan lincahnya tanganku segera
mengetikkan username dan password milikku. Di tab kedua aku membuka twitter.
Dan di tab ketiga… ah! Semuanya tetap saja terasa hambar.
Dengan
gerakan gontai aku langsung menutup layar laptopku dan berjalan menghampiri
lemari yang sedang berdiri manis.
“Hai
lemari. Kamu nggak tahun baruan?” sapaku pada lemari. Ah! Benar juga, dia kan
makhluk tak bernyawa.
Oh
Tuhan! Apakah aku mulai gila karena berbicara kepada seonggok lemari? Aku
membuka salah satu pintu lemari dan segera mengambil tas mungil ku. Dompet,
handphone, novel, tisu semua kumasukkan kedalamnya. Kamera dslr kebesaranku pun
tak lupa culik dari tasnya. Aku melangkah keluar kamar, menyusuri tangga dan
berakhir di ruang tamu. Aku mengambil kunci motor yang ada di laci lemari.
Suasana
di rumah ini begitu sepi. Menyedihkan. Sangat. Ibuku sedang keluar
bersama—siapa lagi kalau bukan bersama tante-tante arisan genit itu. Kak
Raihan, dia sedang berada di rumahnya untuk pesta bakar-bakar ayam dan jagung.
Aku berharap dia tidak membakar rumah temannya itu sebagai media
pelampiasan kekecewaannya karena gagal berlibur ke Malang. Terakhir aku
melihatnya—tadi sore, dia masih menampakkan muka lusuhnya seperti cucian tidak
kering berhari-hari. Bahkan dia hampir saja melahapku dengan sekali terkaman saat aku menggodanya.
Aku
memanasi motor ku yang masih tersandar di teras. Tak lupa ku kunci pintu rumah
kemudian menghampiri pintu pagar. Deg! Pintu pagar tidak dikunci? Dasar bunda,
teledor sekali dia! Pintu pagar telah terbuka, aku segera menghampiri kembali
motor matic andalanku. Aku menuntunnya keluar dengan penuh kasih sayang
layaknya seorang bunda yang menggandeng anaknya keluar dari Taman Kanak-Kanak. Motorku kini telah berada di
luar pagar. Ku katupkan kembali pintu pagarku dan kugembok. Haha! Sekarang kau
tidak bisa kabur kemana-mana, wahai rumah!
Aku
memacu motorku keluar komplek perumahan. Rumah-rumah yang biasanya ramai suara
anak kecil, malam ini sepi. Memang seperti sudah menjadi budaya di komplek
perumahanku jika malam tahun baru pasti dilewatkan oleh keluarga-keluarga disini
untuk berlibur keluar rumah seperti ke mall, ke pusat kota atau pusat keramaian
lainnya.
Aku
sudah berada di jalan raya dekat pintu masuk perumahanku. Tapi aku masih
bingung harus berbuat apa dan kemana. Aku putus asa. Aku menundukkan
pandanganku. Oh my god! Dileherku telah terkalung sebuah kamera dslr. Kenapa
aku harus bingung? Ya! Malam ini aku akan berburu foto. Pasti banyak momen
keren yang bisa ku ambil. Aku berhenti di pinggir jalan. Aku mulai membidik
lampu-lampu jalanan yang berjajar rapih di separator jalan. Meskipun aku tidak
bisa berjajar pas dengan deretan lampu-lampu itu, tapi di posisi ini tidak
kalah bagus kok angle nya. Aku
mengamati rumput yang terinjak oleh ku. Pasti bagus jika rumput ini dijadikan
objek utama dengan latar belakang jalanan beserta dengan lampu-lampu yang
berjajar.
Aku
menelungkupkan tubuhku dan mulai memposisikan kameraku sedemikian rupa hingga
rumput pun terbidik dengan latar belakar lampu-lampu jalanan yang bokeh. Oya,
bokeh sendiri adalah istilah untuk foto yang mempunyai latar belakang blur.
Baiklah
cukup. Akan lebih banyak lagi foto dengan angle dan momen yang keren lainnya
hingga tengah malam nanti. Aku melihat jam yang melilit erat tanganku. Baru jam
setengah Sembilan. Oke, ayo pergi ke keramaian! Yoo! Semangat!!!
Ku
pacu motorku hingga angin pun serasa menjambaki rambutku. Helm yang tertancap
di kepalaku pun serasa ingin copot. Semakin kencang, semakin kencang dan
akhirnya jalan yang agak sepi ini membuatku merasa berada di arena balap
Sentul, Bogor. Aku telah melewati batas Kota Bekasi dan kini aku berhasil
mendaratkan ban motorku di kota Jakarta. aku berbelok mengikuti alur jalan. Aku
melewati R.S. Pondok Kopi dan berhasil berhenti di samping jalan layang Pondok
Kopi. Disini arus kendaraan terlihat sedikit ramai dibandingkan jalanan yang
kulewati tadi.
Mataku
menggeliat lincah mencari angle dan obyek yang bagus untuk jepretan kamera ku.
Cahaya samar yang menyinari penumpang yang turun dari metro mini 506 pun menarik
perhatianku. Aku mulai mengarahkan kameraku ke orang-orang yang naik dan turun
itu. Angle yang keren sekali ini, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya
turun dari metro mini. Disirami cahaya samar dan lembut dari lampu jalanan yang
berada sekitar 100 meter di belakangnya. Lalu di tengah jalan, tersaji seorang
pedagang asongan yang sedang menyeberang jalan sambil mengelap peluh dengan
handuk kecil yang tersampir di lehernya. Cahaya ini begitu indah untuk foto
bergenre social seperti ini. paling tidak itu menurutku.
Lelah
menegakkan lenganku untuk menopang kamera, akupun duduk dan memesan kopi di
kedai berjalan alias gerobak minuman yang terparkir di trotoar, tepat di
sampingku. Ku periksa satu persatu gambar hasil jepretanku tadi, hingga aku
menemukan foto yang sangat ku rindukan. Disana ayah berpose dengan wajah
cerianya, ibu memamerkan senyum terindahnya, kak Raihan yang sedang
memperlihatkan kawat gigi baru nya dan aku… Aku berada di tengah-tengah mereka.
Aku jadi rindu masa-masa yang seperti ini. Sekarang ayah selalu sibuk dengan
bisnisnya hingga tak jarang sering pulang larut. Sedangkan bunda, dia bukanlah
tipikal ibu yang betah berdiam diri di rumah dan menghabiskan waktu untuk
bercanda bersama anak-anaknya. Meskipun tidak bekerja tapi hampir setiap hari
dia pergi ke rumah teman-teman arisannya. Meski begitu bunda ku itu bukanlah
bunda yang jahat dan apatis dengan keluarganya. Dia tetap memeriksa keadaaan
anak-anaknya dengan selalu menelponku maupun kak Raihan lebih dari sekali
sehari. Dan hari ini saja, selama dia pergi sejak siang tadi dia telah
menelponku dua kali.
Huh! Hanya kak Raihan yang tidak berubah. Dia tetap menjadi Raihan yang dulu. Sering menemaniku dan sangat sayang juga baik hati padaku. Tapi itu semua berlaku saat hormon kejahilannya sedang tidak berproduksi. Kalau sedang berproduksi dan sedang puncak-puncaknya, dia bahkan lebih jahil dari host acara di tv yang sangat senang menjahili targetnya. Sudah ah, aku khawatir nanti kak Raihan tersedak tulang ayam bakar jika aku terus-terusan membicarakannya. Hihihi…
Huh! Hanya kak Raihan yang tidak berubah. Dia tetap menjadi Raihan yang dulu. Sering menemaniku dan sangat sayang juga baik hati padaku. Tapi itu semua berlaku saat hormon kejahilannya sedang tidak berproduksi. Kalau sedang berproduksi dan sedang puncak-puncaknya, dia bahkan lebih jahil dari host acara di tv yang sangat senang menjahili targetnya. Sudah ah, aku khawatir nanti kak Raihan tersedak tulang ayam bakar jika aku terus-terusan membicarakannya. Hihihi…
Aku
menyeruput kopi yang kupesan. Ibu-ibu paruh baya yang menjual kopi ini begitu
ramah. Dia tak segan melemparkan senyum terindahnya padaku yang jelas-jelas
belum dia kenal. Aku khawatir dia juga akan melemparkan gerobaknya kepadaku sebagai
wujud keramahannya. Seorang lelaki paruh baya bertampang sangar mendekat ke
gerobaknya dan meminta satu kopi hitam hangat. Nada bicaranya kasar dan kental
dengan logat batak. Nyaliku pun sempat dibuatnya ciut hanya dengan suara
lantangnya. Aku mengalihkan pandangan ke motorku.
“Bah,
sendiri saja kau neng.” kata bapak paruh baya itu memecah lamunanku. Aku
menghadapkan muka ke arahnya dan ternyata benar dia berbicara denganku.
“Iya
nih pak.” Jawabku singkat disertai dengan senyuman ala duta lingkungan.
“Daripada
kau bosan lontag-lantung ngga jelas, kau putar-putar saja ke Kampung Melayu
dengan Metro Mini.” Kata bapak itu seraya menunjuk bus orange lusuh yang baru
saja lewat.
“Tuh
saya bawa motor kok pak.” Jawabku. Bapak itu menyusulku duduk di trotoar yang
tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi sambil menyesap kopinya. Dari samping
sini, angle yang ku dapat begitu indah.
“Pak,
saya foto ya?” kataku kepada si bapak yang sedang asik menyesap kopinya sambil
membidikkan kamera ku.
“Alamajang…
Mau kau jadikan artis bapak ini?” kata bapak itu dengan senyum yang mengembang
dan disusul tawa yang memecah.
“Bukan
pak… ya, difoto aja. Angle nya bagus nih, coba lihat…” kataku sambil
memperlihatkan layar kamera yang berisi hasil jepretanku di tempat ini.
“Wah,
boleh boleh… Harus gaya apa bapak ini? begini? Ha? Ha? Atau begini?” serunya
sambil memperlihatkan lengan tangannya yang sama sekali tidak nampak otot kekar.
“Boleh,
tapi nanti coba biasa aja. Bapak ngobrol, minum kopi. Nanti saya jepret-jepret
gitu pak. Baru deh nanti keluar di majalah Trubus.”
Bapak itu tertawa lepas. Di susul
dengan tawa ibu penjual kopi yang sedari tadi sibuk mengawasi kami berbincang.
“Macam
kau kira aku tak tau majalah Trubus? Majalah tanaman kan? Kau ini kurang ajar.
Hahaha” katanya sambil memukul lembut lenganku. Kami tertawa lepas, selepas hamparan
pantai.
Hunting foto di lokasi ini pun aku sudahi. Aku telah mengambil begitu banyak foto. Ku habiskan kopi susu
yang masih tersisa setengah gelas. Aku menyeruputnya dengan perlahan karena
lidahku sangat sensitif dengan suhu hangat.
“Pak,
saya cabut dulu ya.” Kataku begitu kopi telah pada tetes terakhir.
“Bah,
mau kemana pula kau ini? masih sore pula.”
“Mau
muter-muter lagi pak.” Kataku sambil berdiri menghampiri motor.
“Iyalah
sana. Masih muda jangan kau galau-galau macam di tipi-tipi itu.” Tawa bapak itu
kembali menggema. Aku menyusulnya dengan sunggingan lebar yang terlukis di
bibirku.
Aku menyalakan motor dan langsung
memacunya. Baiklah, kali ini aku tidak akan bisa ngebut lagi lantaran jalanan
kini tak ubahnya lautan sorot lampu kendaraan. Tak mau kalah dengan keadaan lain, akupun menyelip dari satu mobil ke mobil yang lain. Kini aku hanya
berpacu dengan motor-motor yang sepertinya satu tujuan denganku. Aku terus menyusuri
jalan I Gusti Ngurah Rai menuju jempatan layang buaran hingga akhirnya aku
sampai pada simpangan mall Buaran. Aku berbelok ke kiri. Dengan perlahan ku
posisikan motorku hingga aku bisa langsung berbelok di belokan pertama menuju
puncak jembatan. Aku teringat pada tweet salah seorang motivator yang berbunyi:
“Jika ingin berada di puncak kau harus berani bersaing dengan orang yang punya
mimpi yang sama yaitu ke Puncak itu.” Tak ubahnya dengan pepatah itu, sekarang
akupun sedang bersaing dengan kendaraan—motor lain yang ingin berbelok menuju
jembatan layang.
Aku mengekor di belakang mobil
Innova hitam. Dan akhirnya aku berbelok namun yaahh harus bersabar untuk
mencapai puncak. Aku kembali mengasah kemampuan menyelipku hingga aku berada
benar-benar di jalan layang namun belum di puncaknya. Aku pikir tidak perlu
sampai benar-benar di puncaknya. Pasti trotoar disana juga sudah dipenuhi
pengunjung lain yang sudah menempatinya lebih awal dariku. Nasib baik aku kali
ini. aku melihat trotoar yang belum terlalu sesak oleh motor maupun orang, beberapa
meter di depanku. Aku menyegerakan laju motorku.
Sekarang motorku telah terparkir di
sisi trotoar. Lagi-lagi aku berada dekat dengan pedagang minuman. Baiklah, malam ini mari kita berpesta kopi
susu hingga mabuk. Hahaha, celotehku dalam hati. Aku melepas helmku dan
menyingkir dari motor. Ku edarkan pandanganku ke sekitar. Cahaya dari lampu
jalanan bersinar begitu lembut, ditambah
lagi dengan sorot-sorot lampu dari kendaraan
yang melintasi kemacetan di atas jembatan ini. aku mulai mengangkat kamera ku
dan membidikannya ke sekitar untuk mencari angle foto yang bagus. Di seberang
sisi jembatan ada seorang anak umur dua tahunan yang di gendong di leher
ayahnya. Aku memperbesar gambar di kameraku hingga ku dapatkan detail keren
dari ekspresi anak itu. Ayahnya menunjuk ke langit barat—ke kembang api yang
menyala indah. Aku segera menekan tombol shoot.
Hatiku berdesir sesekali. Tahun-tahun
lalu aku juga menghabiskan malam tahun baruku di jembatan ini karena
orang-orang di rumah begitu sibuk dengan acara tahun barunya sendiri-sendiri.
Haahh, mengenaskan! Begitulah hidupku. Menghabiskan malam tahun baru tiga tahun
berturut-turut sendirian di jembatan ini. jangan-jangan ini memang seperti
kutukan bagiku.
Aku mengedarkan kamera ku mengikuti
jalur trotoar jembatan di depanku. Disana ada berbagai ekspresi yang bagus
untuk di abadikan. Ada seorang gadis—sepertinya sepantaran dengan ku, yang
sedang bergurau dengan pacarnya yang ada di sebelahnya, duduk di atas motor.
Aku membalik badanku ke belakang. Di sana ada bapak-bapak yang sedang sibuk
menyiapkan segelas susu jahe untuk pelanggan yang berdiri menghadapnya. Agak
jauh di sebelah utara, ada seseorang sedang berjalan. Posturnya tinggi dengan
kulit putih yang membalut wajahnya. Dia memakai jaket berbahan denimn berwarna hitam dan celana denimn kebiru-biruan. Semakin lama dia terlihat semakin besar padahal
aku tidak memutar settingan zoom kamera ku.
Hidungnya begitu mancung—tak seperti
milikku, bibirnya mengguratkan senyuman tipis yang semakin melebar. Objek itu
semakin mendekat dan tak kusadari ternyata pupil matanya tepat mengarah ke
mataku yang sedang mengintip di balik lensa kamera. Senyumnya semakin lebar
sejurus dengan tubuhnya yang berpose dengan mengacungkan jari telunjuk dan
tengahnya membentuk formasi peace yang
khas di setiap pose fotonya. Rama. Apa? Rama???
Aku menyingkirkan kamera yang sedari
tadi menempel di mata sebelah kananku. Serasa tidak percaya, lantas aku
mengusap-usap mataku.
“Hey
Sya.” Katanya sambil melampaikan tangan kanannya dengan cepat. Astaga! Itu
benar-benar Rama.
Aku
begitu gugup kali ini. betapa tidak? Dia adalah Rama, teman dekatku yang
sekarang tinggal jauh dariku. Dialah alasanku begitu bersemangat pergi ke
Malang. Aku ingin berbincang banyak dengannya saat aku di Malang. Ini seperti
dongeng saja. Aku gagal ke Malang untuk menemuinya tapi
tiba-tiba tanpa di duga-duga dia muncul di depan mata kepala ku.
“Hellow
Raisha…” katanya sambil menjentikkan jari tangannya di depan wajah ku.
“Eh
Ram, kamu ke Bekasi?” kataku gugup. Entah kenapa aku jadi salah tingkah seperti
ini.
“Iya,
ayah lagi nggak enak badan jadi aku yang ke Bekasi deh.”
“Kamu
nggak berubah ya, masih suka aja kemana-mana bawa kamera.” Sambungnya dengan
disusul senyum yang menentramkan. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Kamu
itu ya, pergi tengah malem pake motor bukannya bawa jaket atau baju tebal kek. Ini
malah cuman make baju piyama panjang. Raisya, ini tuh tahun baru. Masa kamu
kamu pake baju piyama ke sini. Kamu tuh ya, dari dulu nggak pernah berubah.
Tetep jadi Raisya yang nyentrik.” Cibirnya panjang lebar sambil mencubit
lenganku.
“Aw,
sakit tau.” Cubitannya memang tidak berubah, tetap sakit seperti dulu. Kulihat
dia melepas jaketnya dan menyampirkannya ke kedua bahu ku.
“Nih
pake biar nggak masuk angin.”
“Nggak
usah Ram, udah biasa.” Kataku sambil melepas jaketnya. Memang benar aku sudah
terbiasa dengan kedinginan kok Ram. Entah itu kedinginan udara maupun
kedinginan hati. Huahaha. Putis sedikit tidak apa dong.
“Pokoknya
harus kamu pake. Oh iya, kamu kan hobi foto. Tuh di bawah sana ada panggung
band kecil-kecilan. Kesana yuk?” ajaknya sambil menunjuk ke arah bawah
jembatan. Dia kembali memakaikan jaketnya ke bahu ku. Itulah Rama, kalau ada
kemauan harus dituruti. Walaupun menolak pasti akan percuma saja hasilnya.
“Boleh.
Tapi motorku gimana Ram?” kataku sambil menyorotkan pandangan ke kuda besiku
yang terparkir di belakangku.
“Taruh
aja disini. Sebentar doang kok. Asalkan kamu gembok dulu.”
“Oke
deh, bentar ya aku gembok dulu.”
Aku langsung saja membuka bagasiku
dan mengambil gembok. Begitu gembok telah terpasang di rem depanku, aku
langsung berjalan menuju panggung yang dimaksud Rama tadi. Rama membetulkan
posisi jaket denimn hitamnya yang kini membalut bahu ku.
Kami berjalan menyusuri penjual
minuman, kacang dan juga motor-motor yang berjajar di bahu jalan. Rama hanya
diam saja. Tumben sekali, biasanya dia yang lebih cerewet dariku setiap kita
bertemu. Ah, keadaan ini semakin membuatku kikuk. Seperti ada yang aneh dengan
Rama. Rama, ayo ngomong dong... jangan
buat aku salah tingkah gini. Kataku dalam hati.
Oh God! Kali ini aku benar-benar kikuk, bahkan aku lupa bagaimana cara jalan ku. Apa seperti ini? ah tidak, itu terlalu girly dan kemayu. Begini? Ah itu malah seperti jalannya lelaki. Aduuh, gimana ini. Seperti ini? Oh tidak, itu malah seperti jalannya waria. Yasudah Raisya, jalan saja sesukamu. Baik. Tapi, bagaimana dengan posisi tanganku saat aku berjalan seperti biasanya? Seperti ini? ah tidak, itu terlalu berlebihan. Apa seperti ini? tidak juga! Itu malah terlalu kaku seperti robot. Ah, masa bodoh dengan itu semua. Semoga dia tidak menyadari semua tingkah ku yang serba salah ini.
Oh God! Kali ini aku benar-benar kikuk, bahkan aku lupa bagaimana cara jalan ku. Apa seperti ini? ah tidak, itu terlalu girly dan kemayu. Begini? Ah itu malah seperti jalannya lelaki. Aduuh, gimana ini. Seperti ini? Oh tidak, itu malah seperti jalannya waria. Yasudah Raisya, jalan saja sesukamu. Baik. Tapi, bagaimana dengan posisi tanganku saat aku berjalan seperti biasanya? Seperti ini? ah tidak, itu terlalu berlebihan. Apa seperti ini? tidak juga! Itu malah terlalu kaku seperti robot. Ah, masa bodoh dengan itu semua. Semoga dia tidak menyadari semua tingkah ku yang serba salah ini.
“Raisya…”
ahh, akhirnya dia mulai berbicara juga. Tapi, apa ini? Kenapa pupil matanya
tepat menembak inti mataku?
Kami berhenti sejenak. Tapi di
belakang kami terdengar banyak klakson motor yang mengisyaratkan agar kami
tidak berhenti di tempat itu. Rama segera menarikku ke trotoar yang—yaah lumayan
ramai orang juga.
“Raisya
aku suka sama kamu.” Katanya dengan sangat cepat nyaris aku tidak bisa mencerna. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku erat. Aku segera berpaling ke
kanan—melihatnya. Pandangannya menunduk. Meski begitu karena tubuhnya lebih
tinggi dariku, aku dapat melihat dia benar-benar menutup rapat kedua matanya.
Aku masih tidak dapat percaya dengan apa yang aku dengar tadi. Aku
mengedip-kedipkan mataku, untuk memastikan bahwa ini bukan ilusi semata.
“Raisya,
kamu mau nggak jadi pacarku? Menjadi seseorang yang akan setia menungguku pulang
ke Bekasi?” kali ini suaranya lirih dengan mata yang menatapku tajam.
Aku bingung meskipun sedikit senang.
Kata-katanya yang baru saja itu mengingatkanku kalau aku adalah jomblo. Dan aku
lupa kapan terakhir kali aku pacaran.
“Sya,
jawab… Kamu mau nggak?” tatapannya semakin tajam.
“Iya
Ram.” Kataku dengan sangat cepat. Sumpah demi apapun aku sangat malu. Aku
langsung memalingkan muka kea rah kiri.
“Lho
Sya, nggak usah malu gitu kali.”
Ha?
Apa? Kok Rama bisa tahu, jangan-jangan dia keturunan paranormal lagi. Hii…
“Kok
kamu tahu Ram?”
“Tuh,
muka kamu merah banget.” Dia lalu tertawa.
“Emang
keliatan ya? Ihh nyebelin kamu Ram.” Kataku sambil memukul lengannya.
“Kok
Ram sih? Kan kita udah pacaran, panggil sayang dong…” rajuknya.
“Ih
apaan sih.” Aku mengernyit yang kemudian ku bubuhi dengan sunggingan senyum
kecil.
“Iya
sayang…” aaaaa??? Apa? Apa yang baru saja aku katakan? Aaaa tidaaakk!!! Badanku
serasa terbakar saat aku mengatakannya. Tapi aku harus tenang. Oke… tenang…
“Nggak
usah maksain gitu kalo belum siap.” dia mengusap bahu kiriku. Rasanya begitu
hangat…
“Hahaha,
aku cuma nggak terbiasa aja.”
“Nanti
juga biasa.” Dia tersenyum teduh. “But, I just want to love you in 3 times.”
Sambungnya. Hal yang satu ini membuatnya terkejut. 3 times? What does it mean?
Pacaran kontrak gitu??? Ahh! Maksud sebenernya apaa??? Bahasa Inggrisku begitu jeblok! Aishh! Baru kali ini dalam
hidupku menyesal gara-gara aku sering bolos di pelajaran tambahan Bahasa
Inggris.
“Maksudnya?”
dahiku berkerut.
“I
want to love you in 3 times. Today, tomorrow and forever.” Dia memandangku
lekat. Senyumnya mengembang lebar.
“Dasar…!”
aku mendorongnya lembut. “Ayo ke panggung yang kamu bilang itu.” Sambungku.
“Iya
ayo sayang.” Lagi-lagi senyumnya meneduhkan hati ku. Kata "sayang" yang dia ucapkan juga tak kalah meneduhkan. Aaaa! Senang sekali mendengarnya memanggilku "sayang".
Kami berjalan menyusuri bahu jalan menuju ke panggung kecil yang ada beberapa meter di depan kami. Musik mengalun begitu kencang. Bahuku terasa begitu hangat dengan balutan jaketnya. Begitupun dengan hatiku. Terima kasih Tuhan, malam ini aku tidak akan sendiri lagi seperti malam-malam tahun baru sebelumnya. Meskipun acara berkumpul dengan keluarga ku di malam tahun baru selalu gagal, tapi aku sangat bahagia dengan kado terindah ini. Aku yang selalu mengakhiri malam pergantian tahun dengan kesedihan dan rasa kesepian. begitu juga dengan akhir tahunnya. Mulai tahun ini nasibku pun akan berubah.
Kami berjalan menyusuri bahu jalan menuju ke panggung kecil yang ada beberapa meter di depan kami. Musik mengalun begitu kencang. Bahuku terasa begitu hangat dengan balutan jaketnya. Begitupun dengan hatiku. Terima kasih Tuhan, malam ini aku tidak akan sendiri lagi seperti malam-malam tahun baru sebelumnya. Meskipun acara berkumpul dengan keluarga ku di malam tahun baru selalu gagal, tapi aku sangat bahagia dengan kado terindah ini. Aku yang selalu mengakhiri malam pergantian tahun dengan kesedihan dan rasa kesepian. begitu juga dengan akhir tahunnya.
God,
aku tidak perlu datang jauh-jauh ke Malang untuk menjemput momen ini, secara ajaib
tiba-tiba dia datang ke jembatan layang ini untuk menyatakan cintanya. Apa ini
yang dinamakan keajaiban cinta? Oh thanks God, I’ll keep this lil’ miracle.
Karya: Irma Oma Eka
Peringatan: segala bentuk kesamaan nama, tokoh dan alur cerita dalam cerpen ini hanya kebetulan belaka. Jika ingin mengcopy-paste postingan ini, mohon cantumkan nama pengarang dan link blog ini. Terima kasih atas kunjungannya... :)
source gambar: tempatku-wisata.blogspot.com
Salama: Detective-103
2 comments:
ahh, sedap endingnya. semoga mereka langgeng terus.
jodoh pasti bertemu
hahay sedap gan. suka yang happy ending yak...
Post a Comment