Freakk!!!
Ketika Dua Manusia
Usang Ini Bertemu
Aku
masih duduk di sebuah bangku mall yang ada dibawah pohon hias mini. Dihadapanku
berdiri sebuah toko baju, sedangkan di sebelah kiriku berdiri beberapa toko
sepatu kemudian toko makanan, dan tiga deret toko dari arah kanan ku ada sebuah
toko buku. Hari sudah menunjukan pukul setengah lima sore.
Orang
itu masih berdiri di depan toko makanan, memesan dua buah es krim seperti apa
yang dijanjikannya kemarin. Setelah di kedua tangannya membawa masing-masing
sebuah eskrim untukku dan untuknya, dia menyodorkan sebelah tangan kanannya
untuk memberiku salah satu eskrim yang di bawanya. Wajahnya datar, sangat
datar, lumayan cantik meski dia seorang lelaki, putih mulus, hanya ada satu
jerawat yang terletak di pipi kanannya. Aku masih tidak dapat percaya dengan
apa yang hari ini aku alami. Bahkan hari-hari yang aku lewati dengannya pun aku
masih tidak dapat percaya, bagaikan mimpi. Ya, seperti inilah mimpi yang aku
selalu imaginasikan di masa kecilku.
Dia
adalah orang yang baik, sangat baik. Dia mau menjadi bagian dari seseorang
sepertiku. Aku yang anak dari orang miskin, introvert—super tertutup—anak yang
tidak mempunyai teman dekat semenjak ada di kelas dua SMP. Anak yang mempunyai
sedikit cacat pada muka, ya, ada sebuah bekas luka sayatan lumayan panjang yang
melintang dari pelipisku hingga pangkal pipi. Aku sama sekali tidak cantik, dan
jika ditambah dengan bekas luka pada wajahku yang terlihat jelas itu pasti saja
anak kecil akan takut denganku. Bahkan teman-teman sebayaku entah di SMP, SMA
bahkan beberapa guru masih saja ada yang meledek pahit dengan
perkataan-perkataan yang menyakitkan. Aku tahu sebagian dari mereka hanya
bermaksud untuk bercanda, tapi satu hal yang aku tidak tahu kenapa adalah
tidakkah mereka mencoba berempati, memposisikan diri jika mereka ada di pihakku
bagaimana perasaannya? Ahh entahlah…
Sebuah
tangan yang merebut es krim dari tanganku menyadarkan penghayatanku. Ternyata
itu tangan Dio yang merebut kembali es krim yang telah diberikannya padaku,
kemudian dijilatnya. Aku masih shock, lengkap dengan mulut menganga. Kemudian
aku tersadar dan segera mengutukinya. “Ihh kok es krim nya diambil lagi sih?
Dijilat lagi! Ahh trus aku dimana dong? Ah Diooo…” kataku sambil memukulnya dengan
kantong belanja yang didalamnya berisi buku-buku hasil buruan kami tadi.
“Lagian, katanya suruh nraktir es krim. Kok malah dipelototin gitu?” katanya
dengan wajah tanpa ekspresi. “Yaudah nih, buat kamu aja.” Katanya lagi. Kali
ini dengan sedikit ekspresi namun tetap terlihat polos dan dengan tingkah laku
mirip seperti anak kecil yang berebut es krim lalu salah satu anak terpaksa
merelakannya lengkap dengan ekspresi lucu. Aku segera mengambil es krim itu.
Andai saja es krim itu tidak bisa mencair ataupun basi, pasti akan ku simpan
sebagai prasasti kebahagiaanku karena sudah berhasil mewujudkan keinginanku.
“Dio,
makasih ya kamu udah mau jalan sama aku. Aku seneeeenggg banget deh. Aku ga
percaya akan hari ini. Ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu selama
bertahun-tahun. Akhirnya aku ga jalan sendirian lagi. Akhirnya aku bisa nonton
bioskop bareng-bareng, makan es krim bareng-bareng, ke mall bareng-bareng,
makan Mc.E bareng-bareng, berburu buku dan kaset bareng-bareng…bla..bla..bla…”
“Iya
sama-sama.” katanya singkat sambil melukiskan guratan indah di bibirnya.
Wajah
polosnya saat berterima kasih padaku mengingatkanku pada hari saat kita pertama
kali bertemu. Aku bertemu dengannya di Klub Japan di sekolah kami. Kami
sama-sama kelas 2 dan baru bergabung pertama kalinya di klub itu. Asing memang
bagiku. Masuk ke sebuah lingkungan baru dengan junior yang berperan sebagai seniorku.
Hal ini terjadi karena di kelas satu aku belum mempunyai niat untuk bergabung
dengan klub Japan. Jadi, terpaksa mau tidak mau harus aku belajar di lingkungan
seperti itu. Apa salahnya? Belajar itu tidak memandang tempat, waktu dan
lingkungan kan?
Di
klub itu aku termasuk anak yang sangat pendiam dan anti sosial. Begitu juga
dengan Dio. Namun entah setan apa yang merasuki kami sehingga membuat kami
saling nyambung saat aku menyetel anime Swort Art Online di laptopku yang
kemudian menarik perhatiannya. Sejak saat itu aku dan dia menjadi dekat.
Meskipun itu sama-sekali tidak mengubah keadaan kami terhadap lingkungan klub
japan. Ya, meskipun aku semakin akrab dengan Dio begitu juga dengan Dio
kepadaku, namun kami tidaklah berubah menjadi orang yang ramah dan kemudian
bergabung atau membaur dengan anggota klub japan yang lainnya. Kami masih
seperti kami yang dulu, yang anti sosial.
Waktu
berjalan, dan kami semakin akrab. Ternyata kami mempunyai banyak kesukaan yang
sama, hobi yang sama, minat terhadap genre anime yang sama, kepribadian yang
hampir sama, kekritisan yang nyaris sama, keinginan masing-masing kami juga
banyak yang sama.
Banyak
orang-orang di lingkungan sekolah—tentunya yang mengenal kami, mengatai kami
itu mirip, dan juga cocok buat jadi partner solid. Eittss… perlu di garis
bawahi dengan font yang unik dan font size yang lebih besar bahwa teman-teman
mencap kami sebagai partner yang solid karena kami sama-sama aneh. Ya, ya, ya…
memang aku tidak menampik bahwa banyak orang yang mengataiku aneh dan
sebagainya. Dio pernah bercerita kepadaku bahwa dia pun sangat sering sekali
dikatai seperti itu. Namun aku mencoba mengabaikannya. Apa pentingnya kalau aku
aneh? Apa pengaruhnya kalau aku aneh? Apa peduliku kalau aku aneh? Toh kalau
aku aneh aku tetap bisa hidup. Namun begitu nampaknya hal yang membuat aku
seringkali dikatai aneh karena kebiasaanku berpikir kritis terhadap masalah
maupun anime atau film yang aku tonton di kelas. Aku pernah bahkan diusir dari
kelas lantaran aku berisik bertanya-tanya pada teman-teman yang sedang asyik
menonton film bersama. Bukannya menjawab, eh mereka malah mengusirku dan
mengunciku dari dalam kelas. Aku sempat nelangsa, tapi hanya beberapa detik
karena saat itu juga aku melihat Dio yang melintas sambil asyik mentertawaiku,
menurutnya perilaku ku seperti anak kecil yang diusir oleh orang tuanya
kemudian meminta kembali lagi sambil menggedor-gedor pintu dan tak lupa dengan
bibir mewek. Serius, aku sama sekali tidak sadar akan perilaku ku tersebut. Dan
akhirnya aku juga larut terbahak-bahak saat melihat Dio tertawa sangat lepas.
Kemudian kami sama-sama pergi ke kantin.
Aku
merasakan ada sesuatu yang sangat dingin yang sedang mengalir deras— sebenarnya
sih biasa aja ngalirnya—dari ibu jariku menuju sikut. Aku kemudian tersadar
bahwa es krimku kini telah meleleh di tanganku. Dio melihatku, kali ini tidak
dengan ekspresi datar melainkan agak garang. “Kamu kenapa sih? Kemaren aja
minta ditraktir es krim. Tapi giliran udah dibeliin malah cuman dipelototin.”
“Di,
makasih ya kamu udah mau mengajakku jalan-jalan ke mall. Tau ga? Aku tuh seumur
hidupku ngga pernah ke bioskop. Ngga pernah jalan-jalan ke mall bareng-bareng
setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku ngga pernah beli buku bareng sama
teman-teman. Ini berarti banget buat aku. Dan aku harap kamu masih inget sama
janji kamu kalau kamu akan jadi teman kepercayaanku seperti apa yang kamu
bilang dulu.” Ucapku mengingatkannya.
“Tenang
aja, seperti janjiku, aku akan menjadi teman kepercayaanmu. Emang siapa sih
yang mau menjadi teman kepercayaan kamu selain aku? Ha?” katanya sambil
tertawa. Aku hanya bisa membalasnya dengan memukulkan kantong belanja yang
berisi buku-buku yang ada di tangan kiriku. “Aku juga janji ngga akan ingkar
janji. Aku inget sama semua janji aku ke kamu. Gue juga seneng kali bisa pergi
bareng-bareng kayak gini. Semua persepsi aku tentang seorang teman yang serius
alias teman beneran itu salah selama ini, Dan sekarang aku tahu dan yakin kalau
kamu itu adalah orang yang berbeda dengan mereka—teman dalam tanda kutip yang
sering mengataiku idiot, autis, ga normal ataupun aneh. Dan aku ngga akan
peduli dengan kata-kata mereka yang mengatai kita aneh, yaa meskipun aku tahu
kamu memang bener-bener aneh, tapi aku ngga akan seperti mereka kok. Kamu
tenang aja yah.” Katanya. Kali ini perkataanya benar-benar membuatku sangat
damai dan tenang. Aku punya seorang teman yang mempunyai pemikiran yang sama
denganku. Dan sangat dekat denganku. Itulah yang membuatku sangat bahagia. Tapi
tunggu, tadi dia mengataiku aneh. Apa dia tidak sadar bahwa sendirinya pun
sangat aneh. Huh… -_-
“Oya,
mau kemana lagi nih? Mumpung kita lagi disini.” Tanya nya. “Hmmmm, kemana ya? I
have no idea.” Kataku sambil menggeleng. “Wah elah, jangan pake bahasa inggris
dong. Kan gue ga ngerti.” Katanya sambil cemberut yang bukannya membuatku takut
tapi malah membuatku semakin menahan tawa. “Aku tidak punya ide Di…” Kataku.
“Ohh, yasudah. Ayo antar aku ke mall seberang. Ada sesuatu berbau anime yang
mau aku cari. Jam segini masih nggapapa kan kalau kamu belum sampai rumah?
Nanti dimarahin orang-tua kamu lagi.” Tanyanya memastikan. ”Tenang aja, aku
udah ijin ini. Kalau kamu gimana?”
“Aku
juga udah ijin kok. Ayo kesana! Aku udah ga tahan.” Katanya sambil mengerang ganas. Aku tahu
maksud perkataanya. Aku pun juga sudah tidak tahan. Aku langsung berdiri
membereskan belanjaan dan kemudian berlari ke sebuah escalator menuju pintu
keluar mall yang letaknya satu lantai dibawah kami berdiri ini. Dia mengekor
dibelakangku meskipun aku tidak menengok namun aku langsung tahu karena langkah
kakinya yang begitu kuat terdengar.
Setelah terbebas dari escalator dia
segera mendahuluiku menuju pintu keluar. Kini posisiku beralih yang mengekor langkahnya.
Kami tepat bersampingan saat berada di ambang pintu keluar mall. Satpam yang
berjaga melihati kami dengan tatapan penuh tanya. Aku menoleh ke arah Dio dan
begitu juga Dio menoleh ke arahku dalam waktu yang bersamaan. Kami saling
senyum mengisyaratkan bahwa kami siap untuk keluar.
Aku melangkahkan kakiku sebanyak
tiga langkah. Tak kusangka Dio juga melakukan hal tersebut, tepat bersamaan
dengan ku. “Yeahhh!!!” teriak Dio yang posisinya masih berada di tengah area
pintu keluar tersebut . Sontak orang-orang disekitar pintu mall pun menoleh ke
arah kami. Aku segera minggir ke tepi dan langsung aku menyeret serta Dio.
“Seneng
sih seneng. Tapi liat! Ngga di tengah pintu juga kalii…” kataku sambil menjitak
kepala Dio. Dio hanya terkekeh meresponku. “Tapi, emang susah ya seharian
berbahasa Indonesia yang baku demi memperingati Hari Bahasa Indonesia versi
kita.” Kataku yang memang sudah tidak tahan dengan permainan yang jujur saja
cukup menyiksa ini. “Dari tadi lo tau ga gue nahan tawa gara-gara percakapan
kita tadi.” Katanya sambil tawa terbahak-bahak. “Udah ayo, sambil jalan. Nanti
kelamaan lagi. Oya, muka lo tuh tadi kocak abis waktu lo belaggak jadi orang
kalem bin melankolis.”
“Tapi
iya sih, gue susah buat jadi orang melankolis ternyata kecuali waktu gue
bener-bener galau. Kebalikannya, hari ini berhasil banget acting lo. Seriusan,
lo keliatan melankolis banget.” Katanya bersemangat.
“Gatau
nih hari ini atmosfirnya mendukung banget. Tiba-tiba aja dari pagi gua jadi
melankolis. Itu bukan cuma sekedar acting, semua yang gue bilang tadi serius
tau.”
“Gue
juga serius. Gue seneng banget hari ini gue bener-bener ngga sendiri. Ayo
berburu lagi.” Katanya. Saat dia mengatakan kalimat itu aku baru tersadar bahwa
kami ternyata sudah berdiri di depan pintu masuk mall yang letaknya
berseberangan dengan mall yang kami jelajahi tadi.
“Yoshhh…
Akhirnya gue dapetin juga yang volume ini. Ahhhh, kawaaaaiii!!!!” katanya
dengan sangat penuh semangat begitu kami sampai disebuah toko. Aku tidak begitu
tahu toko apa ini. Tapi dari dekorasi dan barang-barang yang dijual, ini adalah
sebuah toko yang berbau Japan dan tentunya Anime. Banyak buku, majalah, komik,
asesoris anime, patung atau figure anime dan masih banyak lagi. Memang dia adalah
maniac anime. Tidak bisa hidup tanpa anime. “Inget diri lu Di! Nyebut-nyebut!”
kataku sambil tertawa lepas. Dia senyum kemudian disusul dengan mengelus komik
yang dipegangnya dengan gaya mirip seperti seorang ibu yang mengusap sayang
bayinya yang masih sangat kecil. Setelah dia mengambil beberapa barang yang
sangatlah tidak asing bagiku. Ya, barang-barang itu terdiri dari figure, dan
beberapa asesoris khas dari sebuah anime yang sedang sama-sama kami gilai. Aku
membantunya membawakan beberapa belanjaannya. “Yosh… Ayo pulang. Eitss, kita kan
ada perjanjian. Tadi gue pikir gue kalah, karena gue begitu banyak memakai kata
slang Bahasa Indonesia dari pada lo. Dan berhubung gue adil bin bijaksana, ayo,
gue traktir lo sesuai perjanjian kita kemaren. “ Katanya sambil menuju keluar
mall.
Begitu
sampai di tempat es, dia segera membelikanku sebuah jus Jeruk Spesial
kesukaanku. Dia hanya memesan satu. Setahuku dia juga suka dengan minuman ini
tapi kenapa dia hanya memesan satu? Ahh tapi yasudah lah, mungkin dia kenyang.
Yang penting dia adalah orang yang tepat janji, meskipun ini bukan sesuatu yang
besar, tapi cukup baguslah untuk dia belajar tepat janji. Dia menyodorkan
minuman itu kepadaku. Aku pun duduk di bangku yang telah disediakan, kemudian
disusul Dio duduk menghadap kepadaku. Aku meminum minuman salah satu kesukaanku
itu. Dio hanya melihatiku. “Di, lo mau?” kataku menawarinya. “Ngga usah buat lo
aja.” Katanya sambil tersenyum. “Ihhh, sebagai teman seharusnya ngga begitu
Di.”
“Yaaah,
maaf deh. Yaudah sini gue minta.”
“Eh
tapi Di. Gue suka banget sama ini. Lo mintanya kapan-kapan aja ya?”
“Lha,
payah lu. Katanya gue ga boleh nolak.”
“Bener
banget, lo ngga boleh nolak. Oh yaudah deh, karena gue baik hati nih gue kasih
baunya aja. Lo hirup ya..” kataku sambil meniupkan jus jeruk ke arahnya. Dia
langsung berubah.
“Ahhh
enaak baunya. Lagi, lagi…” katanya begitu riang.
“Udah
ah, ntar bau jeruknya habis.”
“Yaelah,
pelit banget sih lo.”
“Yosh,
pulang yuk. Udah habis es jeruknya. Sisanya buat lo aja.”
“Yee,
jahat banget sih lo. Udah abis baru dikasih ke gue. Mana cepet banget lagi
abisnya, tau-tau udah abis aja.”
Akhirnya
beginilah nasibku, mempunyai teman yang benar-benar teman. Teman yang tidak
hanya datang saat tidak tahu pelajaran atau belum mengerjakan PR. Terima kasih
atas es krimnya, terima kasih atas jalan-jalannya, terima kasih atas nonton
bioskopnya, terima kasih atas Es Jus Spesialnya. Es Jus Spesial dari Dio.
2 comments:
belum ngeh, freak-nya di sebelah mana ya? hehe :)
makasih mba emma kritikan dan sarannya... :)
Post a Comment