Dear My Trusted Friend
Suara seksi J’Mraz masih memeka
di gendang telingaku. Namun begitu masih bisa ku dengar detak lemah jarum jam
yang masih saja setia mematung pada dinding yang dingin. Tiba-tiba daftar putar
beralih dan mengalunkan suara mantap dawai gitar. Tanpa berpikirpun otakku
langsung dapat mengenali lagu ini. Lucky, yang menceritakan kisah LDR sepasang
kekasih yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Entah mengapa tiba-tiba
otakku mengasosiakannya dengan kita. Kita? Ya, sebuah kata dengan empat
alphabet dan dua buah suku kata yang begitu menggirangkan hatiku. Tapi entah
mengapa pula, sejenak kemudian kegiranganku itu terporak porandakan.
Kita? Sebuah kata yang lebih
jelasnya disebut aku dan dirimu. Kita? Yang juga mengindikasikan terjadinya
jalinan diantara kita. Dalam konteks tali kasih? Pantaskah kita disebut ‘kita’?
sedangkan kita sama sekali tidak pernah bersama dalam artian tatap muka tanpa
rasa canggung dan kaku semenjak hari itu. Hari dimana kudengar pernyataan
mengejutkan sekaligus menggembirakan darimu. Hari dimana sejak saat itu secara
otomatis mengikat kita sebagai sepasang manusia yang orang sering menyebutnya
sepasang kekasih. Ada apa denganmu? Mengapa segala hal yang terjadi setelah
hari itu sangat berbeda dengan hal-hal yang telah kita lewati sebelum hari itu,
sebagai seorang teman—yang sangat baik.
Apa kau benar-benar tidak
menikmati keadaan kita sekarang ini? apa kau tidak merasa nyaman bersamaku? Apa
ada sesuatu yang kurang dariku? ‘Dariku? Ya… dariku!!!’ tiba-tiba saja suara
misterius bergumam dari dalam dadaku. Ya, tentu saja banyak yang kurang dariku.
Jika dibandingkan dengan gadis yang kau sukai sebelumnya, tentu saja aku jauh
lebih rendah darinya. Jauuuhhh sekali,
jika diibaratkan sebagai jarak dalam materi, tentu saja itu akan sangat jauh
hingga menggapainya pun aku tak akan sanggup. Tidak akan. Karena akupun begitu
berbeda dengannya. Bisa dibilang sifat maupun segala yang kumiliki sangat
bertolak belakang dengannya. Dia, orang yang menggebu-gebu dan ekspresionis
sedangkan aku, aku hanyalah aku. Sekumpulan organ yang berperangai kaku, kasar
dan ‘sok cool’. Jika hanya orang seperti dialah yang dapat
membahagiakanmu, tentu saja kau tahu apa yang akan terjadi. Ataukah ini yang
sedang terjadi padamu?
Kau akan merasa tidak
bahagia denganku.
Jika hal itu memang benar, tentu
saja aku akan membiarkanmu pergi dan sedapat mungkin membantumu untuk
mendapatkan hal yang memang pantas untuk jiwa polos nan unik sepertimu.
‘Membiarkan aku pergi? Apa kau tak keberatan dengan itu? Apa itu berarti kau
tidak menyukaiku sungguh?’ mungkin secarik kalimat itu yang akan menggeliat
keluar dari otakmu. Dan jika itu benar terjadi, maka inilah jawabku untukmu: Menyukaimu? Tentu saja aku tidak sebatas
itu. Tapi aku menyayangimu. Dan sekali lagi ingin kuberitahu kau bahwa jika
seseorang menyayangi orang lain, orang itu akan melakukan berbagai macam hal untuk
membahagiakan orang yang disayanginya tersebut. meski dengan derai kedukaan,
dan rasa yang begitu sakit. Ya, rasa sakit. Rasa sakit yang amat sangat. Tapi
rasa sakit itu akan lebih dan semakin menyayat jika harus melihat orang yang
disayanginya itu hidup tanpa rasa bahagia. Meskipun harus pergi
meninggalkannya, itu akan terasa lebih menenangkan ketimbang hidup bersama
orang itu tapi tanpa sedikitpun dia merasa bahagia. Tidak percaya? Kau
menyanksikannya? Percayalah, ini terbukti padaku. Dan kau pun akan merasakannya
saat kau benar-benar menyayangi seseorang.
Kau ingin berkata bahwa cinta itu
gila? Bahwa dunia semakin gila? Katakanlah… itu kenyataannya.
Aku memejamkan kedua mataku.
Sejenak kudapati sosokmu yang tersipu-sipu dengan guratan indah membingkai
wajahmu. Itu kau, ya, itu adalah kau. Kau sebelum kita menjadi seperti ini. kau
yang dulu lebih sering menjahiliku. Kau yang dulu sering membuatku naik pitamku
karena kelakuan jahilmu. Kamu… ya, kamu…
Kebahagiaanmu yang kuinginkan
lebih dari apapun, senyummu yang kudambakan lebih dari siapapun. Senyum yang
belakangan ini tak lagi ku dapati dalam wajah sendumu…
…Udah…
0 comments:
Post a Comment