Detak jarum jam semakin terdengar keras. Jarum-jarumnya membentuk sudut 90 derajat dengan jarum panjang mengarah ke angka 12 sementara dengan baiknya jarum pendek menunjuk ke angka 9. Suara televisi di ruang keluarga semakin lama-semakin terdengar agak keras. Nampaknya penghuni rumah yang lain sudah tertidur pulas.
Suara-suara malam kian berbisik lirih kepadaku yang sedang berbaring lemah di atas tumpukkan busa kasur yang sungguh memanjakanku lebih dari apapun. Tubuh yang mulai bosan dengan aktifitas menjenuhkan ini mulai bangkit tanpa perintah maupun aba-aba dari pikiranku.
Tanganku mulai meraih sebuah benda persegi panjang berwarna hitam yang masih tertancap kabel charger di atas meja belajar. Kemudian dibukanya dengan gontai, ditekannya tombol power dan beberapa detik kemudian munculllah tampilan desktop di layarnya. Sebuah benda sebesar korek gas pun segera ditancapkannya di slot USB. Muncullah tampilan yang tak asing lagi bagiku. Tak mau berlama-lama tanganku pun segera menekan touchpad begitu pointer tepat berada diatas tombol Connect.
Suara-suara malam kian berbisik lirih kepadaku yang sedang berbaring lemah di atas tumpukkan busa kasur yang sungguh memanjakanku lebih dari apapun. Tubuh yang mulai bosan dengan aktifitas menjenuhkan ini mulai bangkit tanpa perintah maupun aba-aba dari pikiranku.
Tanganku mulai meraih sebuah benda persegi panjang berwarna hitam yang masih tertancap kabel charger di atas meja belajar. Kemudian dibukanya dengan gontai, ditekannya tombol power dan beberapa detik kemudian munculllah tampilan desktop di layarnya. Sebuah benda sebesar korek gas pun segera ditancapkannya di slot USB. Muncullah tampilan yang tak asing lagi bagiku. Tak mau berlama-lama tanganku pun segera menekan touchpad begitu pointer tepat berada diatas tombol Connect.
Beberapa detik aku bingung apa yang akan aku lakukan. Dengan tatapan kosong, tanganku mulai mengeklik ini itu hingga ku sadari tampilan layar laptopku telah berada di halaman depan sebuah situs media sosial yang sedang booming. Dengan lincahnya tanganku mulai mengotak-atik tombol keyboard, mengisikan username dan password akun ku. Begitu tampilan beranda muncul, tanganku mulai usil dengan menekan tombol scroll down. Baris demi baris aku mulai membaca satu-persatu status dari teman-temanku. Dengan perasaan yang masih bosan aku mencoba mencari hal yang menarik dari beranda ku itu. Hingga akhirnya ada sebuah kalimat yang membuat mataku melotot saking tidak percaya nya.
"Matilah kebahagiaan, lahirlah kedukaan. Aku siap menerimanya.
Hadiah bagi jiwa yang tidak berguna sepertiku."
Aku segera pergi ke timeline sang pembuat kalimat itu, semua yang kubaca disana hanyalah kata-kata keputusasaannya. Keputusasaan atas semua kekurangannya. Tak sadar lantas aku mendapati mulutku dalam keadaan ternganga penuh ketidakpercayaan. Ada apa dengannya? Seolah-olah tidak ada yang peduli betul kepadanya. Seperti tidak ada yang menerimanya apa adanya. Padahal... padahal kan...
Tak kuasa air mataku sudah menggenangi segenap mataku. Benarkah dia belum mempercayaiku? Benarkah dia masih meragukan perasaanku? Bukankah kita sudah lama bersama? Apakah aku harus mengucapkannya di hadapan kekasihku itu bahwa aku benar-benar mencintainya?
Aku lantas membuka sebuah editor text dan menumpahkan apa yang aku rasakan.
"Dear: My Darling
Kamu... yang selalu mengintip dibalik rerimbunan. Kamu yang selalu memperhatikan didalam diam. Dan kamu yang selalu meneduhkan disetiap dukaku. Apa kamu tahu, aku lah yang senantiasa menantikanmu tuk bangun dan menyapa disetiap pagiku...
Kamu... Iya kamu yang sedang membaca secarik tulisanku ini. Kamu pasti tahu bahwa orang-orang selalu melihat kesempurnaanmu dengan mengabaikan kekuranganmu, sehingga saat mereka mengetahui kekuranganmu itu mereka keburu lari terbirit menghindarimu. Kamu pasti juga tahu bahwa sebagian orang menjauhimu karena mereka baru mengenal kekurangmu. Tapi bagaimana jika akhirnya aku yang mencintaimu, mencintai segenap kekuranganmu juga lebihmu? Kamu yang sedang mengeja kata demi kata dalam coretan ini, aku tidak ingin memaksamu untuk mencintaiku juga beserta dengan kekuranganku, tidak... sekalipun aku tidak menginginkannya. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu, mencintai kekuranganmu, mencintai kelebihanmu, mencintai KEUNIKANmu, mencintai kamu apa adanya. Semoga kamu segera terbuka matanya, segera melihat bahwa di dalam diamku terdapat perhatian terhadapmu. Rasakanlah... banyak yang mencintaimu jika kamu melihatnya. Jangan merasa sendiri, karena akupun tak akan membiarkanmu sendiri dalam jarak ini, meski kita tidak dapat saling menyentuh, percayalah, aku lah yang selalu membelaimu dalam kelembutan. Seperti pantonim memang, tapi seperti itulah caraku menenangkanmu. Percayalah, akulah yang selalu mengecupmu dalam setiap doa ku..."
Aku telah habis kata-kata untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Aku membacanya sekali lagi, sekali lagi, dan berkali-kali lagi. Aku berulangkali berfikir, apakah aku harus mengirimkannya melalui email ataukah harus ku simpan untuk ku sendiri? Aku membacanya sekali lagi untuk memastikan tidak ada kesalahan pada ejaanku. Arrgggggg, kenapa aku masih bingung? | Jika aku kirimkan, aku maluuuuuuuu. | Tapi kalau tidak, bagaimana dia bisa tahu apa yang aku rasakan? | Aku kan pacarnya jadi pasti dia tahu kalau aku mencintainya | Tapi dia kan bukan paranormal yang bisa tahu sampai sebegitu detail. | Ahh, baiklahhh aku akan mengirimkannya. FIX!!!
Dengan sambil sesekali memejamkan mata, aku membuka halaman email di browserku. Aku menekan tombol compose, dan mengetikkan nama email kekasihku itu. Sejenak aku masih ragu untuk mengirimkannya. Aku mulai berpikir keras. Yapsss, aku sudah bulat dengan tekatku, aku harus mengirimkannya. Dengan sedikit komat-kamit memanjatkan doa, aku mulai mengcopy apa yang sudah aku ketikkan panjang lebar tadi ke kolom isi email. Aku sudah bersiap untuk menekan tobol ctrl+v dan satu hal yang kemudian menguhalangi niatku. Tiba-tiba aku dapati aku tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sejenak aku berpikir bahwa aku mengalami serangan kebutaan mendadak akibat stress ringan efek menimbang-nimbang apakah coretan tersebut harus aku kirimkan atau tidak.
Akhirnya aku menyadari satu hal, ternyata ini mati listrik sebab suara televisi yang tadinya lantang terdengar dari balik tembok kamarku tersebut telah tiada. Dan satu hal yang aku lupa, bahwa tadi siang sudah ada peringatan bahwa malam ini akan ada pemadaman listrik lokal. Laluuu bagaimana dengan surat tadi??? Aku belum sempat menyimpannya di dalam editor text, dan kini laptop ku telah tershutdown karena aku melepas batterai nya???
Baiklah, aku pasrah dan ikhlas dengan surat tadi. Aku merebahkan setengah membanting tubuhku yang memang sudah letih sedari tadi meringkuk dalam posisi tengkurap. Aku begitu bersyukur karena aku benar-benar tidak buta mendadak, dan akupun dapat pelajaran berharga. Jangan berpikir terlalu lama!!!. Jangan berlebihan dalam berpikir!
Aku membuka jendela kamarku, terpaan angin yang membungkus kehangatan dalam kedinginan menyambut poni ku dengan mesra. Oh angin, berhembuslah ke luar sana dan sampaikan surat tak terucap dan tak terungkapku untuk kekasihku di sana. Bisikkanlah bahwa aku menunggunya dengan penuh kerinduan...
Karya: Irma Oma Eka
Peringatan: Segala bentuk kesamaan cerita, alur, nama, tokoh dsb hanyalah kebetulan belaka karena ini hanyalah coretan fiksi.
Terima kasih atas kunjungannya :)
Salam D-103
6 comments:
hehehehe lucu juga "listriknya tiba-tiba mati" huhu kaciaaan sabar ya :D tapi keren itu emailnya addduh romantis amat sih
Wow... mba emma bersilaturahmi ke saung ku. Makasih mba emma ^.^
apalagi kl lagi ngerjain tugas tiba2 mati listrik spt itu. Hehe makasih mba emma...
haha iya betul...
hehe sering mainkok cm jarang ninggalin komen hehe :D
haha, blog walker nih mba :D
Mending sih listriknya mati, daripada entar suratnya udah dikirim via email, tapi ternyata cowonya lupa password emailnya. Haha. Btw ini blognya genrr personal yak? Knp enggak gabung aja sama komunitas Blogger Energy? Dijamin yg komentar bakal banyak. Liat blog ku deh.
hehe iya nih personal. sudah sy lihat blognya. terima kasih atas kunjungannya
Post a Comment